portalindonesia6 - Tag
#china
,
#DPR
,
#Jokowi
,
#Neokolonial
,
#Presiden
,
#Sosial
,
#TNI
Jokowi Takut Opini Publik?, Ada yang menarik dari serentetan komentar Fahri Hamzah yang dimuat
dibanyak media kemarin Jumat kemarin (26/6). Dalam satu komentarnya, Fahri
menuding Jokowi sebagai presiden yang takut pada opini publik.
"Pemberantasan
korupsi mudah, suruh saya jadi presiden, setahun juga saya bisa."
"Entar
tiba-tiba enggak jadi, takut. Iya kan karena publik memberi sentimen negatif.
Pemerintah apaan kayak begini, kenapa opini publik menjadi
segala-galanya?" Begitu kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Jumat (26/6/2015).
Lantas kader
terbaik partai dakwah ini pun menyebut opini publik sebagai sesuatu yang tidak
jelas. Tidak lupa kolega dekat Luthfi Hasan Ishaaq, Ustad PKS yang divonis 18
tahun penjara karena kejahatan korupsi ini menyebut tindakan Jokowi itu sebagai
bentuk pencitraan.
"Jokowi jadi
penakut. Dibikin takut sama yang enggak jelas, lebih baik pencitraan (tolak
revisi UU KPK) dibanding penyelesaian masalah. Ini bulan puasa, cuma mau
dipuji-dipuji saja, enggak mau selesaikan masalah," katanya masih di
tempat dan hari yang sama. "Masalah ini harus diselesaikan, bukan lari
dari pencitraan satu ke pencitraan lain," ucapnya.
Pertanyaannya, apa
yang salah dengan opini publik? Lebih jauh, apa yang salah kalau Jokowi takut
pada opini publik. Opini publik adalah sejumlah pendapat tentang suatu
isu dalam pembicaraan secara terbuka. Pendapat/opini publik ini terbentuk
melalui berbagai cara seperti debat, pertukaran informasi, dan lainnya yang
terjadi di dunia nyata maupun di dunia maya. Dan, pastinya opini pubik memiliki
pengaruh.
Sekalipun opini
publik belum tentu benar, namun opini publik wajib didengar dan
dipertimbangkan. Selanjutnya terserah kepada pengambil keputusan, apakah mau
menjalankan kebijakannya sesuai opini publik, atau menolaknya. Jadi, tidak ada
yang salah kalau Jokowi dalam kebijakannya mengikuti opini publik. Apalagi
segala sesuatu bagi Jokowi serba salah, mengikuti opini publik dikatakan takut.
Menolak opini pablik disebut tidak mendengar aspirasi rakyat.
Benar kata Fahri, dalam isu revisi UU KPK,
dana parpol, dan dana aspirasi, misalnya, bisa dipastikan Jokowi akan sejalan
dengan opini publik yang berkembang. Tetapi apakah pilihan Jokowi itu karena
ketakutannya terhadap opini publik.
Ada dua kasus yang
menarik untuk membuktikan apakah Jokowi tipe pemimpin pengecut atau bukan.
Pertama kasus Budi Gunawan. Dalam kasus ini Jokowi berhadapan dengan DPR
yang mengancam akan memakzulkannya jika ia tidak melantik BG. Di sisi lain
Jokowi berhadapan dengan opini publik yang menentang pelantikan BG sebagai
Kapolri. Dan, keputusan Jokowi adalah membatalkan pelantikan BG sekalipun ia
terancam dimakzulkan oleh DPR .
Kasus kedua adalah kebijakan Jokowi yang mengurangi subsidi BBM. Di situ Jokowi
berhadapan dengan dua arus yang menentangnya sekaligus, DPR RI dan opini
publik. DPR menolak pengurangan subsidi, dan bahkan mengancam akan melengserkan
Jokowi. Di sisi lain, publik pun tak kalah keras menolak kebijakan
presiden.
Jika Jokowi tetap dengan keputusannya,
konsekuensinya ia akan dimakzulkan dan publik akan melawannya. Tingkat
kepercayaan publik pun pastinya menurun. Dan, sama-sama kita ketahui, dalam
situasi itu Jokowi memilih tetap mengurangi subsidi BBM. Dalam kasus itu Jokowi
berani menghadapi ancaman pemazulan sekaligus opini publik.
Kalau Jokowi tipe
pemimpin pengecut seperti yang ditudingkan oleh Fahri, maka sudah barang tentu
ia akan membatalkan kebijakan pengurangan subsidi BBM. Apalagi kebijakan yang
paling tidak populis itu diambilnya hanya sebulan sejak ia dilantik. Dan, belum
ada seorang pun presiden di Indonesia yang berani memutuskan kbijakan yang
tidak populis di awal masa jabatannya. Apalagi, dengan kebijakan itu benyak
pendukung Jokowi, seperti Efendi Simbolon, yang berbalik arah melawannya.
JADI, JELAS JOKOWI TIDAK TAKUT DENGAN OPINI
PUBLIK SEPERTI YANG DITUDINGKAN OLEH FAHRI.
Lalu bagaimana
dengan Ustad Fahri sendiri? Apakah kader dakwah ini merupakan sosok pemberani.
Orang yang berani pastinya akan menghadapi kenyataan. Ia tidak akan berbohong.
Karena berbohong sama saja dengan lari dari kenyataan. Dan Ustad Fahri pernah
berbohong sewaktu membantah kalau dirinya mengenal Ustad Fathanah. Dan, ketika
foto kebersamaannya dengan Ustad Fathanah tersebar luas, Ustad Fahri malah
marah-marah dan mengatakan akan mencari siapa penyebarnya.
Tapi, bagi siapa
pun berbohong, apalagi berbohong yang gampang sekali terbongkar, sangat
membutuhkan keberanian tingkat dewa dan ketebalan muka laksana tembok benteng.
Pelakunya pastilah orang yang sangat pemberani. Ia berani melawan fakta. Berani
meneima comooh. Dan pastinya berani terhadap Allah yang menyaksikan segala
perbuatannya. Dengan demikian Ustad Fahri pun bisa dikatogorikan sebagai
seorang yang pemberani tiada taranya. Kenapa? Karena kebohongan yang dilokoni
oleh kader terbaik PKS ini mudah sekali terbongkar mengingat ada banyaknya
pasang mata yang menyaksikan keharmonisan hubungan antara Ustad Fahri dan Ustad
Fathanah.
Dengan
keberanian yang tidak ada taranya itu, wajar kalau Ustad Fahri bsesumbar mengoarkan
kalau ia sanggup memberantas korupsi dalam waktu satu tahun, asalkan kader
dakwah partai Islam milik Allah ini menjadi presiden.