portalindonesia6 - Tag
#china
,
#Ekonomi
,
#Etnic
,
#Jakarta
,
#Jokowi
,
#Kabinet
,
#Kesehatan
,
#Komunis
,
#Korupsi
,
#Nasional
,
#Neokolonial
,
#Olahraga
,
#Presiden
,
#Sosial
Pemerintah harus punya kesadaran geopolitik dalam membangun aliansi
strategis dengan Tiongkok atau Amerika Serikat dan sekutunya yang saat
ini sedang berebut pengaruh di kawasan Asia Pasifik. Tanpa kesadaran
geopolitik, Indonesia bisa terjebak dalam perangkap perbudakan atau
skema kolonialisme baru non-militer yang dikembangkan negara-negara
adidaya.
Demikian rangkuman pendapat dalam diskusi bertajuk "Kompetisi China dan Amerika di Asia Pasifik, Posisi Indonesia dan Dampaknya Terhadap Stabilitas Kawasan", di kantor DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), di Tebet, Jakarta, Selasa (9/6) petang.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Umum DPP PGK Bursah Zarnubi itu menghadirkan empat narasumber, yakni Ketua Program Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Prof. Tirta N. Mursitama, Pengamat Pertahanan dan Kawasan Dr. Connie Rahakundini Bakrie, Direktur Global Future Institute Hendrajit, dan Ketua Presidium GMNI Twedy Noviady Ginting.
Connie Rahakundini Bakrie mengemukakan, persaingan hegemoni di kawasan Asia Pasifik sudah diingatkan sejak lama oleh Henry Kissinger. Menlu AS itu, pada tahun 1969 sudah memprediksi bahwa kawasan Asia Pasifik akan menghadapi masalah besar karena pertumbuhan pesat ekonominya.
Menurut Connie, pertumbuhan ekonomi yang pesat akan mendorong terjadinya lonjakan konsumsi pangan dan energi. Selanjutnya akan berdampak pada persaingan memperebutkan sumberdaya pangan dan energi yang ada di kawasan tersebut.
"Itu yang terjadi saat ini. Tiongkok sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia, dan didukung oleh kekuatan ekonominya yang tumbuh pesat, ingin mengamankan kepentingan ekonominya dengan menguasai Laut China Timur dan Laut China Selatan yang kaya dengan sumber pangan dan energi," katanya.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Connie, Indonesia harus jeli dan mewaspadai trend persaingan global di kawasan Asia Pasifik. Di satu sisi, kita harus realistis, kalau tidak bisa mengalahkan lawan, kita jadikan sebagai kawan. Jangan seperti orang yang tidak punya baju dan tidak punya uang tapi terus mau berlagak. Tapi di sisi lain, Indonesia harus meniru Tiongkok yang punya spirit untuk menjadi superpower dengan mengembangkan kekuatan militernya.
"Kita perlu spirit untuk menjadi bangsa besar dan kuat, seperti yang dulu selalu digelorakan oleh Bung Karno," kata Connie.
Doktrin Kolonialisme Baru
Hendrajit mengemukakan bahwa Tiongkok sangat menyadari bahwa kekuatan militernya belum mampu mengalahkan Amerika Serikat. Masalah krusial yang dihadapi oleh Tiongkok dalam pertarungan global dengan AS adalah konfigurasi perairannya yang mudah diblokade, baik di Laut China Timur maupun di Laut China Selatan.
Karena itu, katanya, untuk mengimbangi kekuatan militer AS di Asia Pasifik, Tiongkok lebih menekankan pola perang non-militer melalui kekuatan ekonominya untuk menguasai wilayah-wilayah strategis di kawasan itu. Bank Dunia memprediksi, pada tahun 2020 Tiongkok akan mampu menggeser posisi AS dalam nilai investasi di luar negeri.
Hendrajit mengimbau Pemerintah Jokowi agar bersikap jeli untuk mengambil keuntungan dari trend pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Tapi di sisi lain, ia mengingatkan, Indonesia harus mewaspadai tujuan strategis AS dan Tiongkok di Indonesia. Sebab dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia masih diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara maju, sebagai pasar bagi produk negara industri, dan perputaran ulang dari kelebihan kapital negara-negara maju yang diakumulasi untuk kepentingan negara maju.
"Jika Presiden Jokowi tidak berhati-hati, Indonesia akan terseret dalam skema kolonialisme baru yang dikembangkan Tiongkok. Jangan heran kalau pasar kita dibanjiri produk murah Tiongkok, dan diserbu oleh migrasi warga China yang akan membangun kantong-kantong Pecinan seperti di zaman VOC dulu," kata Hendrajit.
Hendrajit menekankan, modal Indonesia di tengah persaingan negara adidaya adalah kesadaran geopolitik. "Itu yang harus dikelola sebagai kontra skema kolonialisme dari negara-negara adidaya di Kawasan Asia Pasifik," ujarnya.
Sependapat dengan Hendrajit, Twedy Noviady Ginting mengingatkan bahaya kolonialisme baru yang menjadi doktrin yang dianut oleh negara-negara adidaya pasca perang dingin. Seperti ditulis John Perkins dalam beberapa bukunya, beberapa negara maju kini melakukan penjajahan dengan mengintervensi pembuatan peraturan dan perundang-undangan. Biaya yang mereka keluarkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh.
"Itu sudah terjadi di Indonesia. Kini kita sadar, banyak peraturan dan undang-undang yang dibuat di era reformasi, ternyata tidak memihak rakyat dan justru pro modal asing," kata Twedy.
Demikian rangkuman pendapat dalam diskusi bertajuk "Kompetisi China dan Amerika di Asia Pasifik, Posisi Indonesia dan Dampaknya Terhadap Stabilitas Kawasan", di kantor DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), di Tebet, Jakarta, Selasa (9/6) petang.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Umum DPP PGK Bursah Zarnubi itu menghadirkan empat narasumber, yakni Ketua Program Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Prof. Tirta N. Mursitama, Pengamat Pertahanan dan Kawasan Dr. Connie Rahakundini Bakrie, Direktur Global Future Institute Hendrajit, dan Ketua Presidium GMNI Twedy Noviady Ginting.
Connie Rahakundini Bakrie mengemukakan, persaingan hegemoni di kawasan Asia Pasifik sudah diingatkan sejak lama oleh Henry Kissinger. Menlu AS itu, pada tahun 1969 sudah memprediksi bahwa kawasan Asia Pasifik akan menghadapi masalah besar karena pertumbuhan pesat ekonominya.
Menurut Connie, pertumbuhan ekonomi yang pesat akan mendorong terjadinya lonjakan konsumsi pangan dan energi. Selanjutnya akan berdampak pada persaingan memperebutkan sumberdaya pangan dan energi yang ada di kawasan tersebut.
"Itu yang terjadi saat ini. Tiongkok sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia, dan didukung oleh kekuatan ekonominya yang tumbuh pesat, ingin mengamankan kepentingan ekonominya dengan menguasai Laut China Timur dan Laut China Selatan yang kaya dengan sumber pangan dan energi," katanya.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Connie, Indonesia harus jeli dan mewaspadai trend persaingan global di kawasan Asia Pasifik. Di satu sisi, kita harus realistis, kalau tidak bisa mengalahkan lawan, kita jadikan sebagai kawan. Jangan seperti orang yang tidak punya baju dan tidak punya uang tapi terus mau berlagak. Tapi di sisi lain, Indonesia harus meniru Tiongkok yang punya spirit untuk menjadi superpower dengan mengembangkan kekuatan militernya.
"Kita perlu spirit untuk menjadi bangsa besar dan kuat, seperti yang dulu selalu digelorakan oleh Bung Karno," kata Connie.
Doktrin Kolonialisme Baru
Hendrajit mengemukakan bahwa Tiongkok sangat menyadari bahwa kekuatan militernya belum mampu mengalahkan Amerika Serikat. Masalah krusial yang dihadapi oleh Tiongkok dalam pertarungan global dengan AS adalah konfigurasi perairannya yang mudah diblokade, baik di Laut China Timur maupun di Laut China Selatan.
Karena itu, katanya, untuk mengimbangi kekuatan militer AS di Asia Pasifik, Tiongkok lebih menekankan pola perang non-militer melalui kekuatan ekonominya untuk menguasai wilayah-wilayah strategis di kawasan itu. Bank Dunia memprediksi, pada tahun 2020 Tiongkok akan mampu menggeser posisi AS dalam nilai investasi di luar negeri.
Hendrajit mengimbau Pemerintah Jokowi agar bersikap jeli untuk mengambil keuntungan dari trend pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Tapi di sisi lain, ia mengingatkan, Indonesia harus mewaspadai tujuan strategis AS dan Tiongkok di Indonesia. Sebab dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia masih diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara maju, sebagai pasar bagi produk negara industri, dan perputaran ulang dari kelebihan kapital negara-negara maju yang diakumulasi untuk kepentingan negara maju.
"Jika Presiden Jokowi tidak berhati-hati, Indonesia akan terseret dalam skema kolonialisme baru yang dikembangkan Tiongkok. Jangan heran kalau pasar kita dibanjiri produk murah Tiongkok, dan diserbu oleh migrasi warga China yang akan membangun kantong-kantong Pecinan seperti di zaman VOC dulu," kata Hendrajit.
Hendrajit menekankan, modal Indonesia di tengah persaingan negara adidaya adalah kesadaran geopolitik. "Itu yang harus dikelola sebagai kontra skema kolonialisme dari negara-negara adidaya di Kawasan Asia Pasifik," ujarnya.
Sependapat dengan Hendrajit, Twedy Noviady Ginting mengingatkan bahaya kolonialisme baru yang menjadi doktrin yang dianut oleh negara-negara adidaya pasca perang dingin. Seperti ditulis John Perkins dalam beberapa bukunya, beberapa negara maju kini melakukan penjajahan dengan mengintervensi pembuatan peraturan dan perundang-undangan. Biaya yang mereka keluarkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh.
"Itu sudah terjadi di Indonesia. Kini kita sadar, banyak peraturan dan undang-undang yang dibuat di era reformasi, ternyata tidak memihak rakyat dan justru pro modal asing," kata Twedy.
0 komentar:
Posting Komentar